JAKARTA: Persoalan krisis logistik ternyata belum terurai sampai saat ini. Hal ini berisiko menekan kinerja perdagangan dan ekonomi secara agregat. Pengamat ekonomi meminta Pemerintah Indonesia memetakan mana produk ekspor yang rantai pasoknya paling rawan atau rentan terimbas situasi ini. Termasuk juga melakukan kajian terkait kebutuhan insentif agar harga tetap bersaing.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan erlu dipetakan mana produk ekspor yang rantai pasoknya paling rawan, apa perlu insentif agar harga tetap bersaing, misal dengan insentif nonpajak atau mungkin diversifikasi produk,” kata Bhima, dikutip dari situs www.bisnis.com, Selasa (23/11/2021).
Menurut Bhima, permasalahan gangguan logistik bisa memicu penundaan pengiriman barang, bahkan pembatalan ekspor jika harga terlalu tinggi. Meski demikian, dia melihat ada potensi untuk menghadirkan investasi baru di dalam negeri. Mungkin rantai pasok yang panjang, lanjut dia, membuat investor mempertimbangkan memusatkan produksi di sumber bahan baku. “Indonesia (justru) berpeluang mendapatkan kesempatan ini,” ungkap dia.
BACA JUGA: SCI – Penggabungan BUMN Logistik Bisa Bantu Daya Saing Global
Di sisi lain, Center of Industry, Trade, and Investment (CITI) Indef punya penelitian lain. Hasil CITI Indef menunjukkan bahwa penurunan produktivitas pengapalan global berdampak pada kinerja investasi agregat dan juga perekonomian. Disamping itu, produktivitas pengapalan yang turun juga berimbas pada ekspor impor sejumlah sektor.
Menurut Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Andry Satrio, dengan asumsi produktivitas pengapalan dunia turun 5 persen, maka investasi agregat Indonesia menjadi turun 0,17 persen, sesuai perhitungan Indef. “..sehingga, ekonomi bisa berkurang 0,011 persen,” kata Andry.
Kemudian, dari aspek impor, krisis logistik dalam bentuk penurunan produktivitas pengapalan sebesar 5 persen bisa memicu kontraksi impor komoditas pertanian sampai 0,97 persen dan hewan ternak sebesar 1,14 persen. Impor manufaktur berat juga turun sekitar 0,65 persen dan makanan olahan turun 0,97 persen. Sedangkan bagi ekspor, kontraksi pada pengiriman produk pertanian mencapai 0,53 persen. Selanjutnya, pada produk manufaktur berat juga turun 0,28 persen dan makanan olahan turun 0,46 persen.
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Soetrisno, mengatakan benang kusut perdagangan global sudah terjadi sejak akhir 2020, sehingga membuat proses pengiriman barang terlambat. Masalah ketersediaan kontainer dan ruang kapal membuat biaya pengiriman bisa membengkak sampai 5 kali lipat. “Karena ekspor beberapa produk industri menggunakan FOB [freight on board], kembali lagi apakah buyer mau menanggung atau tidak karena biaya mereka yang arrange,” kata Benny, Selasa (23/11/2021).
PT Sumber Urip Cargo (SUC) merupakan perusahaan ekspedisi nasional dan berharap persoalan krisis logistik bisa tuntas. SUC punya armada truk dan kendaraan barang yang beroperasi di Pulau Jawa, Pulau Bali dan Pulau NTB. SUC selalu update layanan secara digital sehingga mudah diakses di smartphone para pelanggan.
Hubungi Kami:
PT. Sumber Urip Cargo
JL Pangeran Jayakarta, No. 16/6-7, Kecamatan Sawah Besar, Kota Jakarta Pusat, DKI Jakarta 10730
Telpon: +62 (21) 6260966
Fax: +62 (21) 6286056
No WA: +62 813 12345380
Email: info@sumberuripcargo.com